Beranda | Artikel
Akhlak Mulia dan Dampak Positifnya Dalam Dakwah
Sabtu, 7 Agustus 2021

AKHLAK MULIA DAN DAMPAK POSITIPNYA DALAM DAKWAH

Oleh
Ustadz Abu Abdir Rahman Abdullah Zaen, MA.

Definisi akhlak mulia ialah berbuat baik kepada orang lain, menghindari sesuatu yang menyakitinya serta menahan diri ketika disakiti. Berdasarkan definisi ini berarti cakupan akhlak mulia sangatlah luas, dan tidak mungkin dipaparkan satu persatu dalam makalah singkat ini. Karena itulah penulis hanya akan membawakan beberapa contoh saja. Semoga yang sedikit ini bisa mendatangkan berkah dan para pembaca dapat menganalogikannya kepada contoh-contoh yang lain.

1. Gemar membantu orang lain.
Banyak nash dalam al-Qur’ân maupun Sunnah yang memotivasi kita untuk mempraktekkan karakter mulia ini. Di antaranya, sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ؛ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ                                               

Allâh akan membantu seorang hamba jika ia membantu saudaranya [HR. Muslim no. 6793dari Abu Hurairah]

Sifat gemar membantu orang lain akan membuahkan dampak positif yang luar biasa bagi keberhasilan dakwah pemilik karakter tersebut. Menarik untuk kita cermati ungkapan Ummul Mukminin Khadîjah Radhiyallahu anha tatkala beliau menghibur suaminya; Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketakutan dan merasa khawatir tatkala wahyu turun pertama kali pada beliau. Khadîjah Radhiyallahu anha berkata:

كَلَّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا؛ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ

Demi Allâh tidak mungkin! Allâh tidak akan pernah menghinakanmu. Sebab engkau selalu bersilaturrahmi, meringankan beban orang lain, memberi orang lain sesuatu yang tidak mereka dapatkan kecuali pada dirimu, gemar menjamu tamu dan engkau membantu orang lain dalam musibah-musibah [HR. al-Bukhâri no. 3 dan Muslim no. 401]

Maksud perkataan Khadîjah Radhiyallahu anha di atas, sesungguhnya engkau Muhammad, tidak akan ditimpa sesuatu yang tidak kau sukai, karena Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan dalam dirimu berbagai akhlak mulia dan karakter utama. Lalu Khadîjah  Radhiyallahu anha menyebutkan berbagai contohnya,[1] di antaranya gemar membantu orang lain.

Karakter ini sangat membantu keberhasilan dakwah. Tatkala seseorang dalam keadaan sangat membutuhkan bantuan, kemudian ada orang yang membantunya, jelas susah baginya melupakan kebaikan orang tersebut. Dia akan terus mengingat jasa baik itu, sehingga manakala kita menyampaikan sesuatu padanya, minimal dia akan lebih terbuka untuk mendengar ucapan kita, bahkan sangat mungkin dia akan menerima masukan dan nasehat kita. Sebagai salah satu bentuk ‘berbalas budi’  atas kebaikan yang kita sodorkan kepadanya.

Karena itu, seyogyanya kita berusaha menerapkan akhlak mulia ini dalam kehidupan sehari-hari. Tatkala ada tetangga yang meninggal dunia, kitalah yang pertama kali memberikan sumbangan belasungkawa kepada keluarganya. Manakala ada yang dioperasi karena sakit; kita turut membantu secara materi semampunya. Saat ada yang membutuhkan bantuan keuangan, kita berusaha memberikan hutangan pada orang tersebut. Begitu seterusnya.

Jika hal ini rajin diterapkan, lambat laun akan terbangun jembatan yang mengantarkan kita untuk masuk ke dalam hati orang-orang yang pernah kita bantu, sehingga dakwah salafiyah yang kita sampaikan lebih mudah untuk mereka terima.

2. Jujur dalam bertutur kata
Sifat jujur merupakan salah satu karakter mulia yang amat dianjurkan dalam Islam. Allâh Azza wa Jalla berfiman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allâh dan ucapkanlah perkataan yang benar [al-Ahzâb/33:70]

Kejujuran bertutur kata dalam kehidupan sehari-hari membuahkan kepercayaan masyarakat terhadap apa yang kita sampaikan, bukan hanya dalam perkara duniawi, namun juga dalam perkara agama.

Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu bercerita, bahwa tatkala turun firman Allâh Azza wa Jalla ,

وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ

Berilah peringatan (wahai Muhammad) kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. [asy-Syu’ara/26:214]

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam keluar dari rumahnya lalu menaiki bukit Shafa dan berteriak memanggil, “Wahai kaumku kemarilah!”. Orang-orang Quraisy berkata, “Siapakah yang memanggil itu?”. “Muhammad”, jawab mereka. Mereka pun berduyun-duyun menuju bukit Shafa.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai bani Fulan, bani Fulan, bani Fulan, bani Abdi Manaf dan bani Abdil Mutthalib. Andaikan aku kabarkan bahwa dari kaki bukit ini akan keluar seekor kuda, apakah kalian mempercayaiku?”.

Mereka menjawab, “Kami tidak pernah mendapatkanmu berdusta!”.

“Sesungguhnya aku mengingatkan kalian akan datangnya azab yang sangat pedih!” , lanjut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam [HR. al-Bukhâri no. 4971 dan Muslim no. 507 dengan redaksi Muslim]

Lihatlah bagaimana kejujuran Rasûlullâh dalam bertutur kata menjadi dalil dan bukti akan kebenaran risalah yang disampaikannya.[2]

Seorang Muslim yang telah dikenal di masyarakatnya jujur dalam bertutur kata, berhati-hati dalam berbicara dan menyampaikan berita, akan disegani. Ucapannya akan didengar. Dan ini modal yang amat berharga untuk berdakwah. Didengarkannya apa yang kita sampaikan itu sudah merupakan suatu langkah awal yang menyiratkan keberhasilan dakwah. Andaikan dari awal saja, masyarakat sudah enggan mendengar apa yang kita sampaikan, karena kita telah dikenal, misalnya mudah menyebarkan isu yang belum jelas kebenarannya, tentu jalan dakwah berikutnya akan semakin terjal.

3. Bertindak ramah terhadap orang miskin dan kaum lemah
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ابْغُونِي الضُّعَفَاءَ؛ فَإِنَّمَا تُرْزَقُونَ وَتُنْصَرُونَ بِضُعَفَائِكُمْ

Tolonglah aku untuk mencari (dan membantu) orang-orang lemah. Sesungguhnya kalian dikaruniai rezeki dan meraih kemenangan lantaran adanya orang-orang miskin di antara kalian”. [HR. Abu Dâwud no. 2594, dan sanadnya dinilai jayyid (baik) oleh an-Nawawi][3]

Masih banyak hadits lain, juga ayat al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk berbuat baik, berlaku ramah dan membantu orang-orang lemah juga miskin. Bahkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditegur langsung Allâh Azza wa Jalla tatkala suatu hari beliau bermuka masam dan berpaling dari seorang lemah yang datang kepada beliau; karena saat itu beliau sedang sibuk mendakwahi para pembesar Quraisy. Kejadian itu Allâh Azza wa Jalla abadikan dalam surat ‘Abasa. Setelah itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam amat memuliakan orang lemah tadi dan bahkan menunjuknya sebagai salah satu muadzin di kota Madinah. Dialah ‘Abdullâh Ibn Ummi Maktûm Radhiyallahu anhu.

Bersikap ramah dan perhatian terhadap orang-orang lemah menguntungkan dakwah dari dua arah; sisi orang-orang lemah tersebut, juga sisi masyarakat yang menyaksikan sikap mulia yang kita praktekkan tersebut.  

Adapun sisi pertama, keuntungannya: orang-orang lemah tersebut akan mudah untuk didakwahi dan diajak kepada kebenaran; apalagi pada umumnya mereka memang lebih mudah untuk didakwahi. Perlu dicatat di sini, apa yang disebutkan para ahli sejarah tentang salah satu isi dialog antara Abu Sufyan dan kaisar Romawi; Heraklius. Tatkala Abu Sufyan ditanya tentang siapakah pengikut Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Dia menjawab, “Orang-orang lemah dan kaum miskin”. Heraklius pun menimpali, “Begitulah kondisi pengikut para nabi di setiap masa”.[4]

Ketika menafsirkan Surat asy-Syu’ârâ ayat ke-111, Imam Abu Hayyân rahimahullah menjelaskan bahwa orang-orang lemah lebih banyak untuk menerima dakwah dibanding orang-orang yang terpandang. Sebab, otak mereka tidak dipenuhi dengan keindahan-keindahan duniawi, sehingga mereka lebih mudah mengetahui al-haq dan menerimanya dibanding orang-orang terpandang.[5]

Sedangkan keuntungan kedua, dipandang dari sisi ketertarikan orang-orang yang menyaksikan praktek akhlak mulia tersebut, termasuk orang-orang yang memiliki status sosial tinggi. Masyarakat cenderung lebih respek kepada ulama atau da’i yang rendah hati serta akrab dengan orang-orang miskin dan lemah dibandingkan kepada penceramah yang hanya berada dalam lingkaran kehidupan orang-orang kaya dan pemilik kekuasaan. Sebab masyarakat menganggap da’i tersebut cenderung lebih tulus. Adapun penceramah (Ulama) yang hanya beramah-tamah dengan para pejabat dan konglomerat; masyarakat akan bertanya-tanya tentang motif kedekatan tersebut? Apakah karena mengharapkan harta duniawi atau apa?

Keterangan ini sama sekali bukan untuk mengecilkan urgensi mendakwahi orang-orang yang memiliki kedudukan[6], namun penulis hanya ingin mengajak para pembaca untuk membayangkan alangkah indahnya andaikan para da’i dan Ulama menyeimbangkan antara kedekatannya dengan orang-orang terpandang dan kedekatannya dengan orang-orang lemah yang kekurangan, dengan satu tujuan lurus, mengajak mereka semua ke jalan Allâh Azza wa Jalla .

Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari kisah masuk Islamnya ‘Adi bin Hâtim ath-Thâ’I, seorang raja terpandang di negeri Arab. Ketika mendengar munculnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pengikutnya dari hari kehari semakin bertambah,  membuncahlah dalam hatinya kebencian dan rasa cemburu atas kemunculan raja pesaing baru, hingga datanglah suatu hari dimana Allâh Azza wa Jalla membuka hatinya untuk mendatangi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Begitu mendengar kedatangan ‘Adi, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sedang berada di masjid dengan para Sahabatnya segera bergegas menyambut kedatangannya dan menggandeng tangannya mengajak berkunjung ke rumah beliau. Di tengah perjalanan menuju rumah, ada seorang wanita lemah yang telah lanjut usia memanggil-manggil beliau. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berhenti dan meninggalkan ‘Adi guna mendatangi wanita tersebut. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam cukup lama berdiri melayani kebutuhan si wanita. Melihat tawadhu’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Adi bergumam dalam hatinya, “Demi Allâh, ini bukanlah tipe seorang raja!”.

Setelah selesai urusannya dengan wanita tua tersebut, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggamit tangan ‘Adi melanjutkan perjalanan. Sesampai di rumah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergegas mengambil satu-satunya bantal duduk yang terbalut kulit dan berisikan sabut pohon kurma, lalu mempersilahkan ‘Adi untuk duduk di atasnya. ‘Adi pun menjawab, “Tidak, duduklah engkau di atasnya”. “Tidak! Engkaulah yang duduk di atasnya” sahut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Akhirnya, ‘Adi duduk di atas bantal tersebut dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di atas tanah. Saat itu, ‘Adi kembali bergumam dalam hatinya, “Demi Allâh, ini bukanlah karakter seorang raja!”.

Lantas terjadi diskusi antara keduanya, hingga akhirnya ‘Adi pun mengucapkan dua kalimat syahadat; menyatakan keislamannya. [7]

Lihatlah bagaimana ‘Adi begitu terkesan dengan kerendahan hati Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dengan sabar melayani kepentingan seorang wanita tua dan lemah di tengah-tengah perjalanannya mendampingi seorang raja besar! Goresan kesan baik yang mengendap dalam hatinya terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , merupakan titik awal ketertarikan sang raja untuk memeluk Islam.

Penulis tutup pembahasan ini dengan sebuah kisah nyata tentang salah seorang da’i muda Ahlus Sunnah di sebuah kota di tanah air. Dengan usianya yang masih sangat hijau, dalam waktu singkat, sebagai pemain baru di kotanya, berkat taufik dari Allâh Azza wa Jalla , dia telah berhasil mengambil hati banyak masyarakat di kota tersebut. Bahkan pernah pada suatu momen, ia diundang untuk mengisi suatu acara kemasyarakatan di sebuah komunitas yang sebenarnya di situ banyak tokoh-tokoh agama senior. Tatkala berusaha menghindar dengan alasan banyak kyai di situ, orang yang mengundang menjawab, “Kalau yang mengisi pengajian kyai A, sebagian masyarakat tidak mau datang, dan kalau yang diundang kyai B, yang mau datang juga hanya sebagian. Tapi kalau yang mengisi panjenengan, mereka semua mau datang!”. Ketika penulis cermati, ternyata salah satu rahasia kecintaan masyarakat terhadap da’i tersebut yaitu keramahannya kepada siapapun, apalagi terhadap orang-orang ‘kecil’. Dia menyapa tukang parkir, tukang sapu, orang tidak punya, bersalaman dengan mereka dan tidak segan-segan untuk bertanya tentang keadaan keluarga mereka dan anak-anaknya!

4. Santun dalam menyampaikan nasehat, sambil memperhatikan kondisi psikologis orang yang dinasehati.
Dari Abu Hurairah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ

Ucapan yang baik adalah sedekah (HR. al-Bukhâri no. 2989 dan Muslim no. 2332)

Memilih kata-kata yang baik dan memperhatikan psikologis seseorang sangat menentukan keberhasilan dakwah. Penulis pernah mendapatkan cerita dari saksi mata obrolan antara seorang ikhwan yang sudah ngaji dengan seorang awam yang sebelumnya tidak pernah saling bertemu. Orang awam tadi membuka obrolannya dengan kekagumannya akan perkembangan pembangunan fisik kota tempat mereka berdua tinggal yang begitu cepat dan maju. Namun ikhwan tadi langsung menangkis, “Ya, itukan cuma lahiriahnya saja. Tapi kalau kita lihat jiwa-jiwa penduduknya, ternyata kosong dan rapuh!”. Begitu mendengar balasan lawan bicaranya, muka orang awam tadi langsung berubah dan terdiam.

Kita bukan sedang meragukan niat baik ikhwan tadi, namun tidakkah ada kata-kata yang lebih santun? Haruskah kita ‘menabrak’ langsung lawan bicara kita. Bukankah itu akan mengakibatkan dakwah kita sulit untuk diterima? Bukankah akan lebih enak didengar dan diterima jika ikuti alur pembicaraannya, lalu secara perlahan kita arahkan kepada poin yang kita sampaikan?

Misalnya kita katakan pada orang awam tersebut, “Betul Pak, pembangunan fisik kota kita ini memang amat membanggakan, dan ini amat bermanfaat untuk kesejahteraan ekonomi masyarakat. Namun alangkah indahnya jika pembangunan fisik tersebut diiringi pula dengan pembangunan mental masyarakat, sehingga timbullah keseimbangan antara dua sisi tersebut”.

Kita bisa mengambil suri teladan dari metode Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menasehati para Sahabat.

Abu Umamah Radhiyallahu anhu bercerita, “Suatu hari ada seorang pemuda yang mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasûlullâh, izinkan aku berzina!”. Orang-orang pun bergegas mendatanginya dan menghardiknya, mereka berkata, “Diam kamu, diam!”. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mendekatlah”. Pemuda tadi mendekati beliau dan duduk.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain?”.
“Tidak demi Allâh, wahai Rasul” sahut pemuda tersebut.
“Begitu pula orang lain tidak rela kalau ibu mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika putrimu dizinai orang?”.
“Tidak, demi Allâh, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika putri mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika saudari kandungmu dizinai?”.
“Tidak, demi Allâh, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika bibi (dari jalur bapakmu) dizinai?”.
“Tidak, demi Allâh, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika bibi (dari jalur ibumu) dizinai?”.
“Tidak, demi Allâh, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai”.

Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut sembari berkata, “Ya Allâh, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya dan jagalah kemaluannya”.

Setelah kejadian tersebut, pemuda itu tidak pernah lagi tertarik untuk berbuat zina”. [HR. Ahmad XXXVI/545 no. 22211 dan sanad shahîh].[8]

Cermatilah bagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak langsung menyalahkan pemuda tadi. Namun, dengan sabar beliau mengajak pemuda tadi untuk berpikir sambil  memperhatikan kondisi psikologisnya. Mungkin, sebagian kalangan yang kurang paham menilai bahwa metode tersebut terlalu panjang dan bertele-tele. Namun lihatlah apa hasilnya? Jalan dakwah memang panjang dan membutuhkan kesabaran.

Tidak ada salahnya, kita kembali memutar rekaman perjalanan hidup kita dahulu sebelum mengenal dakwah Salaf dan proses perkenalan kita dengan manhaj yang penuh dengan berkah ini. Apakah dulu serta-merta sekali diomongi, kita langsung meninggalkan keyakinan yang telah berpuluh tahun kita pegangi? Atau melalui proses panjang yang penuh dengan lika-liku?

Dengan merenungi masa lalu kelam sebelum mendapat hidayah, dan bahwasanya kita memperolehnya secara bertahap, kita akan terdorong untuk mendakwahi orang lain juga dengan hikmah, nasehat yang bijak, serta secara bertahap. Demikian keterangan yang disampaikan Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah ketika beliau menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla :

كَذَلِكَ كُنتُم مِّن قَبْلُ فَمَنَّ اللّهُ عَلَيْكُمْ

Begitu pulalah keadaan kalian dahulu, lalu Allâh melimpahkan nikmat-Nya pada kalian. [an-Nisâ/4: 94][9]

Tidaklah mudah, mengajak seseorang meninggalkan ideologi lamanya untuk menganut sebuah keyakinan baru. Maka, langkah awal yang ditempuh, buatlah ia ragu akan ideologi lamanya, lalu secara bertahap kita jelaskan keunggulan (keistimewaan, kebenaran) ideologi baru yang akan kita tawarkan padanya. Dengan berjalannya waktu, dengan izin Allâh Azza wa Jalla , sedikit demi sedikit ideologi lama akan ditinggalkannya, kemudian beralih ke ideologi yang baru.

5. Bersifat pemaaf terhadap orang yang menyakiti dan membalas keburukan dengan kebaikan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta jangan pedulikan orang-orang jahil [al-A’râf/7:199]

Potret praktek akhlak mulia ini dalam kehidupan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam amatlah banyak, baik dengan sesama Muslim, maupun dengan para musuh beliau dari kalangan orang-orang kafir dan kaum musyrikin.

Di antara contoh jenis pertama, kejadian yang dikisahkan Anas bin Malik Radhiyallahu anhu:

كُنْتُ أَمْشِي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ بُرْدٌ نَجْرَانِيٌّ غَلِيظُ الْحَاشِيَةِ فَأَدْرَكَهُ أَعْرَابِيٌّ فَجَذَبَهُ جَذْبَةً شَدِيدَةً حَتَّى نَظَرْتُ إِلَى صَفْحَةِ عَاتِقِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَثَّرَتْ بِهِ حَاشِيَةُ الرِّدَاءِ مِنْ شِدَّةِ جَذْبَتِهِ ثُمَّ قَالَ: “مُرْ لِي مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي عِنْدَكَ!” فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ فَضَحِكَ ثُمَّ أَمَرَ لَهُ بِعَطَاءٍ

Suatu hari aku berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saat itu beliau mengenakan pakaian (kain) buatan Najran yang tepinya kasar. Tiba-tiba datanglah seorang Arab badui dari belakang dan menarik keras kain beliau, hingga aku melihat di pundaknya tergaris merah bekas kasarnya tarikan orang itu, sembari berkata, “Berilah aku sebagian dari harta yang Allâh berikan padamu!”. Beliau pun menengok kepadanya sembari tersenyum lalu memerintahkan agar ia diberi sebagian harta”. [HR. al-Bukhâri no. 3149 dan Muslim no. 2426]

Contoh jenis kedua antara lain, kejadian yang dikisahkan ‘Aisyah  Radhiyallahu anha :

Suatu hari aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Wahai Rasûlullâh, apakah engkau pernah melewati suatu hari yang lebih berat dibandingkan hari peperangan Uhud?”.

Beliau menjawab, “Aku telah menghadapi berbagai cobaan dari kaummu, dan cobaan yang paling kurasa berat adalah kejadian di hari Aqabah. Saat itu, aku menawarkan dakwah kepada Ibn Abd Yâlil bin Abd Kulal, namun ia enggan menerimaku. Aku pun pergi dalam keadaan amat sedih dan tidak tersadar melainkan tatkala sampai di Qarn ats-Tsa’âlib. Aku pun mendongakkan kepala, ternyata di atasku ada awan yang menaungiku. Kulihat di sana ada malaikat Jibril, ia memanggilku, “Sesungguhnya Allâh telah mendengar ucapan kaummu dan bantahan mereka padamu. Allâh telah mengirimkan untukmu malaikat gunung, supaya engkau memerintahkannya melakukan apa saja kepada mereka sesuai kehendakmu”. Malaikat gunung pun memanggilku dan mengucapkan salam lalu berkata, “Wahai Muhammad, jika engkau mau, akan kutimpakan dua gunung atas mereka!”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Justru aku berharap, semoga Allâh berkenan menjadikan keturunan mereka generasi yang mau beribadah kepada Allâh semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun”. [HR. Muslim no. 4629]

Jalan dakwah merupakan jalan yang terjal yang dipenuhi onak dan duri, apalagi mengajak manusia meninggalkan keyakinan-keyakinan keliru yang telah mendarah-daging puluhan tahun dalam diri mereka. Pasti akan muncul tantangan, berupa cemoohan, makian, atau bahkan mungkin juga berbentuk serangan fisik, dari pihak yang antipati terhadap dakwah. Ketika seorang da’i menghadapi semua halangan tadi dengan ketegaran dan kesabaran, tidak lupa diiringi dengan kelapangan dada, bahkan justru membalas keburukan dengan kebaikan; insya Allâh dengan berjalannya waktu, hati para ‘lawan’ dakwah akan luluh, atau minimal akan menyegani dakwah yang penuh berkah ini dan tidak mudah untuk melontarkan tuduhan-tuduhan miring. [10]

Biografi para ulama Islam penuh dengan contoh praktek sifat mulia ini. Penulis bawakan dua contoh dari kehidupan seorang ulama yang sangat masyhur keteguhannya dalam mempertahankan prinsip dan ketegasannya dalam meluruskan penyimpangan sekte-sekte sesat. Beliau adalah Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah t .

Contoh pertama: Suatu hari segerombolan ahlul bid’ah menghadang Ibnu Taimiyah rahimahullah lalu mereka memukuli beliau ramai-ramai dan pergi. Tatkala kabar itu sampai ke telinga murid-murid dan para pendukung beliau, mereka pun bergegas datang kepadanya, meminta izin guna membalas dendam perbuatan jahat gerombolan ahlul bid’ah itu.

Namun Ibnu Taimiyah rahimahullah melarang mereka, seraya berkata, “Kalian tidak boleh melakukan hal itu”.

“Perbuatan mereka pun juga tidak boleh didiamkan, kami sudah tidak tahan lagi!”, tukas mereka.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menimpali, “Hanya ada tiga kemungkinan; hak  untuk balas dendam itu milikku, atau milik kalian, atau milik Allâh. Seandainya hak untuk balas dendam itu adalah milikku, maka aku telah memaafkan mereka! Jika hak itu adalah milik kalian, seandainya kalian tidak mau mendengar nasehatku dan fatwaku maka berbuatlah semau kalian! Andaikan hak itu adalah milik Allâh, maka Dia Azza wa Jalla yang akan membalas jika Dia Azza wa Jalla berkehendak!”. [11]

Contoh kedua: Kisah makar ahlul bid’ah untuk menggantung Ibnu Taimiyyah.  Sultan Muhammad Qalawun rahimahullah termasuk penguasa yang mencintai dan mendukung dakwah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Pada suatu tahun, Sultan Qalawun pergi berhaji ke Baitullah. Selama menjalankan ibadah haji, pemerintahan diserahkan kepada salah seorang wakilnya, Sultan al-Muzhaffar Ruknuddin Piprus, yang merupakan murid salah satu tokoh sufi abad itu, Nashr al-Manbaji, dikenal sangat benci terhadap Ibnu Taimiyah.

Tatkala Piprus mengambil tampuk pemerintahan, ahlul bid’ah pun segera menyusun makar agar pemerintah mengeluarkan surat perintah hukum mati Ibnu Taimiyah rahimahullah. Namun sebelum makar mereka berhasil, Sultan Qalawun terlebih dahulu kembali dari haji.

Mendengar berita adanya makar ahlul bid’ah tersebut, Sultan Qalawun pun marah besar dan memerintahkan bawahannya untuk menghukum mati para pelaku makar tersebut. Namun, begitu sampai berita itu ke telinga Ibnu Taimiyah rahimahullah, ulama ini bergegas mendatangi Sultan Qalawun , sambil mengatkan, “Saya telah memaafkan mereka semua”. Akhirnya, Sultan pun memaafkan mereka.

Setelah peristiwa itu, salah seorang musuh besar Ibnu Taimiyah rahimahullah , Zainuddîn bin Makhlûf pun berkata, “Tidak pernah kita mendapatkan orang setakwa Ibnu Taimiyah! Setiap ada kesempatan untuk mencelakakannya, kami berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Namun, tatkala dia memiliki kesempatan untuk membalas, malah memaafkan kami!”.[12]

Begitulah orang-orang berjiwa besar menyikapi kejahatan orang lain, dan lihatlah buahnya! Disegani lawan maupun kawan. Betapa banyak musuh bebuyutan yang berubah menjadi teman seperjuangan, berkat taufiq dari Allâh Azza wa Jalla , kemudian dengan ketulusan hati para da’i.     

6. Menahan diri dari meminta-minta apa yang dimiliki orang lain.
Sifat ini lebih dikenal para Ulama dengan istilah ‘iffah atau ‘afâf. Ini merupakan salah satu karakter para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana Allâh Azza wa Jalla beritakan dalam al-Qur’ân,

“يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاء مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافاً “.

“(Orang lain) yang tidak tahu menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya; karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (wahai Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta dengan cara mendesak kepada orang lain”.[Al-Baqarah/2: 273].

Tidak heran andaikan mereka memiliki karakter mulia tersebut; sebab mereka dapat menyaksikan langsung Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mempraktekkannya dan senantiasa memotivasi mereka untuk mempraktekkannya juga. Di antara nasehat yang beliau sampaikan: sabdanya,

“مَنْ يَسْتَعِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ”.

“Barang siapa menahan diri untuk tidak minta-minta; maka Allâh akan jadikan ia memiliki sifat ‘iffah. Dan barang siapa menampakkan diri berkecukupan; niscaya Allâh akan menjadikannya kaya”. [HR. al-Bukhâri no. 1427 dan Muslim no. 2421 dari Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu anhu]

Lantas apa korelasi antara bersifat ‘iffah dengan keberhasilan dakwah? Sekurang-kurangnya bisa ditinjau dari dua sisi:

Pertama: Orang yang menjaga diri dari meminta apa yang dimiliki orang lain, juga tidak silau dengan apa yang dimiliki orang lain; akan dicintai mereka. Sebab secara tabiat, manusia tidak menyukai orang lain yang meminta-minta apa yang dimilikinya. Hal itu telah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam isyaratkan dalam nasehatnya untuk seseorang yang bertanya, “Wahai Rasûlullâh, beritahukan padaku suatu amalan yang jika kukerjakan, aku akan disayang Allâh dan dicintai manusia!”. Beliau pun menjawab:

ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ

Bersifat zuhudlah di dunia, niscaya engkau akan disayang Allâh. Dan bersikap zuhudlah dari apa yang ada di tangan manusia, niscaya mereka mencintaimu [HR. Ibnu Mâjah no. 4177 dari Sahl bin Sa’d as-Sâ’idi Radhiyallahu anhu dan sanadnya dinilai hasan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah][13]

Jika seorang da’i telah dicintai masyarakat, maka mereka akan lebih mudah untuk menerima dakwahnya.

Kedua: Orang yang memiliki sifat ‘afâf, ketika ia berdakwah, masyarakat akan menilai bahwa dakwahnya tersebut ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla , bukan karena mengharapkan balasan duniawi dari mereka. Saat mereka merasakan ketulusan niat da’i tersebut; jelas -dengan izin Allâh Azza wa Jalla – mereka akan lebih mudah untuk menerima dakwahnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْأَلُكُمْ أَجْراً وَهُم مُّهْتَدُونَ

Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk [Yâsin/36:21]

Kiat menumbuhkan sifat ‘afâf
Sifat mulia ini memang cukup berat untuk ditumbuhkan dalam jiwa. Namun, ada kiat khusus yang dapat membantu kita menumbuhkan karakter mulia ini dalam diri kita. Yaitu, dengan melatih diri bersifat qona’ah yang berarti menerima dan rela dengan berapapun yang diberikan Allâh Azza wa Jalla . Sebab, sebenarnya sifat ‘afâf  merupakan buah dari sifat qona’ah. [14]

Jika ada yang bertanya bagaimana cara membangun pribadi yang qona’ah? Jawabannya, dengan melatih diri menyadari seyakin-yakinnya bahwa rezeki hanyalah di tangan Allâh Azza wa Jalla dan yang kita dapatkan telah dicatat Allâh Azza wa Jalla , serta tidak mungkin melebihi apa yang telah ditentukan-Nya, walaupun kita pontang-panting dalam bekerja.

Catatan penting[15]
Ada tiga catatan penting di akhir makalah ini:
Pertama: Untuk merealisasikan akhlak mulia ini bukan berarti kita ‘melarutkan’ diri dalam ritual-ritual bid’ah yang ada di masyarakat dengan alasan penerapan akhlak mulia!

Kita bisa bermasyarakat tanpa harus larut mengikuti yasinan[16], tahlilan[17], maulidan atau acara-acara bid’ah lainnya. Caranya? Dengan selalu berusaha berpartisipasi dalam acara-acara kemasyarakatan yang tidak mengandung unsur penyimpangan terhadap syariat, semisal kerja bakti, pembuatan taman RT, kumpul bulanan RT, menjenguk tetangga yang sakit, mengantar jenazah ke pemakaman, membantu orang yang sedang ditimpa musibah, menebarkan salam, berbagi masakan ketika kita sedang memasak makanan yang enak, membantu membawakan barang belanjaan seseorang yang baru pulang dari pasar, membantu mendorong becak yang keberatan bawaan ketika dia menaiki jalan yang menanjak dan lain sebagainya.

Dengan berjalannya waktu, masyarakat akan paham bahwa ketidakikutsertaan kita dalam ritual-ritual bid’ah bukan berarti karena kita sedang mengucilkan diri dari mereka, namun karena hal itu berkaitan dengan keyakinan yang ‘tidak ada tawar-menawar’ di dalamnya.

Kedua: Sebagian pihak ‘mengolok-olok’ beberapa da’i Ahlus Sunnah yang tidak jemu-jemunya menekankan pentingnya akhlak mulia, dengan mengatakan bahwa mereka telah tasyabbuh (menyerupai) salah satu kelompok ahlul bid’ah yang terkenal berkonsentrasi dalam membenahi akhlak umat, namun mengabaikan pembenahan akidah.

Jawabannya:

  • Barangkali pihak yang gemar ‘mengolok-olok’ itu lupa bahwa dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah bukanlah dakwah yang hanya mengajak kepada akidah yang benar saja. Namun, juga merupakan dakwah yang mengajak kepada penerapan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari; karena dakwah Ahlus Sunnah tidak lain adalah agama Islam yang dibawa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana Islam memadukan antara akidah, ibadah dan akhlak. Imam Bisyr al-Hâfî rahimahullah berkata, “Sunnah adalah Islam dan Islam adalah Sunnah”[18].

Syaikh Dr. Ibrâhîm bin ‘Âmir ar-Ruhailî hafizhahullâh menjelaskan, “Hendaklah diketahui bahwa Ahlus Sunnah sejati adalah mereka yang mengamalkan ajaran Islam secara sempurna, baik yang berkenaan dengan akidah maupun akhlak. Termasuk pemahaman yang keliru, adanya prasangka bahwa sunni atau salafi adalah orang yang merealisasikan akidah Ahlus Sunnah saja, tanpa memperhatikan sisi akhlak dan adab Islam, serta penunaian hak-hak kaum Muslimin”[19].

  • Seandainya ada sebagian ahlul bid’ah menonjol dalam pengamalan beberapa sisi syariat Islam, apakah kita akan mengabaikannya hanya karena mereka lebih terkenal dalam penerapannya?! Bukankah justru sebaliknya kita harus berusaha membenahi diri dengan menutupi kekurangan yang ada pada diri kita, sehingga kita benar-benar bisa menerapkan ajaran Ahlus Sunnah secara komprehensif dan bukan sepotong-sepotong?!

Ketiga: Mungkin pula ada sebagian pihak lain yang ketika ia merasa jenuh melihat kekurangan sebagian Ahlus Sunnah dalam penerapan akhlak Islami, dia cenderung ‘menjauhi’ mereka dan memilih ‘bergabung’ dengan kelompok-kelompok ahlul bid’ah yang terkenal menonjol dalam sisi itu.

Sikap ini juga kurang tepat, karena seharusnya dia berusaha membenahi diri dengan memperbaiki akhlaknya yang belum baik, lalu berusaha terus-menerus menasehati saudara-saudaranya sesama Ahlus Sunnah guna memperbaiki akhlak mereka, bukan malah menjauh. Mari kita selesaikan suatu masalah dengan cara yang tidak menimbulkan masalah lain!

Penutup
Sebenarnya masih banyak contoh lain penerapan akhlak mulia yang akan membuahkan dampak positif bagi keberhasilan dakwah. Seperti bersifat amanah dalam segala sesuatu, termasuk dalam berbisnis, yang amat disayangkan mulai luntur, bahkan sampai di kalangan mereka yang sudah ngaji. Sehingga muncullah istilah “Bisnis afwan akhi!” [20], yang intinya adalah berbisnis tanpa mengindahkan etika-etikanya. Dan contoh-contoh lainnya yang dipandang perlu untuk disinggung. Semoga yang sedikit ini dapat memberikan manfaat yang banyak dan menjadikan kita selalu berupaya untuk berakhlak mulia di tengah masyarakat yang jelas-jelas membutuhkan pembinaan Islami untuk menjadi lebih baik.

Wallâhul muwaffiq ilâ aqwamith tharîq… Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in..

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1432H/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Syarh Shahîh Muslim , Imam Nawawi II/377
[2] Makârim al-Akhlâq fî Dhau’i al-Kitâb wa as-Sunnah karya Syaikh Salim al-Hilâli hlm. 39
[3] Riyâdh ash-Shâlihîn hlm. 146
[4] al-Bidâyah wa an-Nihâyah VI/471-472
[5] Tafsîr al-Bahr al-Muhîth VII/30
[6] Penulis telah sedikit mengupas tentang permasalahan ini serta dampaknya yang amat signifikan untuk kemajuan dan perkembangan dakwah, dalam buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah hlm. 69-73
[7] Tahdzîb Sîrah Ibn Hisyâm , ‘Abdussalâm Hârûn hlm. 272-274
[8] Ash-Shahîhah I/713 no. 370
[9] Tafsîr as-Sa’di hlm. 158
[10] Cermati Ashnâf al-Mad’uwwîn hlm. 54
[11]  Al-‘Uqûd ad-Durriyyah , Ibnu ‘Abdil Hâdi hlm. 224-225
[12] Lihat: Ibid (hlm. 221)
[13] Riyâdhush Shâlihîn hlm. 216
[14]  Bahjatun Nâzhirîn I/583
[15] Nukilan dari buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah hlm. 25-27
[16] Untuk mengenal lebih lanjut hukum acara dipandang dari kacamata Islam, silahkan merujuk ke buku Yasinan  karya Ust. Yazîd bin Abdul Qâdir Jawwâs, dan makalah Takhrîj Hadits-Hadits tentang Keutamaan Surat Yâsîn karya Ust. Dzulqarnain Sunûsi (dalam Majalah an-Nashîhah vol 06 hlm 50-59).
[17] Untuk mengenal lebih lanjut hukum tahlilan dipandang dari kacamata Islam Hukum Tahlilan Menurut Empat Madzhab karya Ust. Abdul Hakîm bin ‘Âmir ‘Abdât.
[18] Syarh as-Sunnah , Imam al-Barbahârî (hal. 126).
[19] Nashîhah li asy-Syabâb hlm. 1
[20] Majalah Nikah, vol. 8, no. 6, September-Oktober 2009 hlm. 82-83


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/36964-akhlak-mulia-dan-dampak-positifnya-dalam-dakwah.html